Total Tayangan Halaman

Sabtu, 12 November 2011

Pembiasaan Ibadah






Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) dan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Daar El Mafaiz memang berupaya untuk membiasakan hal-hal yang kaitannya dengan ibadah, Alhamdulillah di sini setiap hari tanpa kecuali kami membiasakan untuk melaksanakan kegiatan Shalat Dhuha berjamaah dengan harapan mereka pada saat dirumah dan dalam kehidupannya terbiasa untuk melaksanakan ibadah sunnah dhuha ini, semoga dengan terbiasa melaksanakan sholat dhuha bertambah dengan shalat qiyamul Lail........

Kalau shalat dhuha saja merupakan pembiasaan di TKIT, SDIT Daar El Mafaiz apalagi yang kaitannya dengan ibadah shalat Wajib, kedepannya memang kita akan berupaya untuk mengadakan mabit (Malam Bina Iman dan Taqwa) di Daar El Mafaiz..Mohon do'a semoga ini dapat terwujud.... Inilah salah satu aktifitas shalat putra/putri peserta didik TKIT dan SDIT Daar El Mafaiz :

MEMBANGUN KEMBALI SEMANGAT BERQURBAN

Pada pagi ini, angkasa raya dipadati oleh gemuruhnya takbir, tahmid dan tahlil, yang diucapkan oleh kaum muslimin/muslimat diseluruh dunia. Ucapan takbir, tahmid dan tahlil itu bukanlah buah bibir formalitas tanpa makna, akan tetapi merupakan ungkapan dari kesadaran yang dalam, keyakinan yang kokoh, dan pengakuan yang tulus akan kekerdilan manusia dihadapan ke Agungan Allah Swt, serta kelemahan kita di bawah ke Maha Perkasaan Nya. Dan semua aktifitas kita pun hanyalah karena pertolongan Allah Swt semata.
Hari raya idul adha juga merupakan hari raya istimewa karena dua ibadah agung dilaksanakan pada hari raya ini yang jatuh di penghujung tahun hijriyah, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari syi’ar-syi’ar Allah swt yang harus dihormati dan diagungkan oleh hamba-hambaNya. Bahkan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan pertanda dan bukti akan ketaqwaan seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Al-Hajj: 33) Atau menjadi jaminan akan kebaikan seseorang di mata Allah seperti yang diungkapkan secara korelatif pada ayat sebelumnya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya”. (Al-Hajj: 30)
Kedua ibadah agung ini yaitu ibadah haji dan ibadah qurban tentu hanya mampu dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah yang merupakan makna ketiga dari hari raya ini: “Qurban” yang berasal dari kata “qaruba – qaribun” yang berarti dekat. Jika posisi seseorang jauh dari Allah, maka dia akan mengatakan lebih baik bersenang-senang keliling dunia dengan hartanya daripada pergi ke Mekah menjalankan ibadah haji. Namun bagi hamba Allah yang memiliki kedekatan dengan Rabbnya dia akan mengatakan “Labbaik Allahumma Labbaik” – lebih baik aku memenuhi seruanMu ya Allah…Demikian juga dengan ibadah qurban. Seseorang yang jauh dari Allah tentu akan berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini. Namun mereka yang posisinya dekat dengan Allah akan sangat mudah untuk mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt.
Mencapai posisi dekat “Al-Qurban/Al-Qurbah” dengan Allah tentu bukan merupakan bawaan sejak lahir. Melainkan sebagai hasil dari latihan (baca: mujahadah) dalam menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah. Karena seringkali terjadi benturan antara keinginan diri (hawa nafsu) dengan keinginan Allah (ibadah). Disinilah akan nyata keberpihakan seseorang apakah kepada Allah atau kepada selainNya. Sehingga pertanyaan dalam bentuk “muhasabah: evaluasi diri ” dalam konteks ini adalah: “mampukan kita mengorbankan keinginan dan kesenangan kita karena kita sudah berpihak kepada Allah?…Sekali lagi, ibadah haji dan ibadah qurban merupakan gerbang mencapai kedekatan kita dengan Allah swt.
Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLLahil Hamd
Icon manusia yang begitu dekat dengan Allah yang karenanya diberi gelar KhaliluLlah (kekasih Allah) adalah Ibrahim. Sosok Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya secara paripurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Idul Adha, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Dalam ibadah haji, peran nabi Ibrahim tidak bisa dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal dari panggilan nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah swt dalam firmanNya:

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 26-27).
Ibadah ini harus diawali dengan kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut dan tampilan luar yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya mengenakan dua helai kain ‘ihram’ yang mencerminkan sikap tawaddu’ dan kesamaan antar seluruh manusia. Dengan pakaian sederhana ini, seseorang akan lebih mudah mengenal Allah karena dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di Arafah. Dengan penuh kekhusyu’an dan ketundukkan seseorang akan larut dalam dzikir, munajat dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih siap menjalankan seluruh perintahNya setelah itu. Dalam proses bimbingan spritual yang cukup panjang ini seseorang akan diuji pada hari berikutnya dengan melontar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan Rabbnya. Kemudian segala aktifitas kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah dalam ibadah thawaf keliling satu titik fokus yang bernama ka’bah. Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia: “katakanlah:


“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. (Al-An’am: 162)Akhirnya dengan modal keyakinan ini, seseorang akan giat berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita dalam naungan ridha Allah swt dalam bentuk sa’I antara bukit shafa dan bukit marwah. Demikian ibadah haji sarat dengan pelajaran yang kembali ditampilkan oleh Ibrahim dan keluarganya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumuLlah.
Dalam ibadah qurban, kembali Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt. Ia harus menunjukkan ketaatannya yang totalitas dengan menyembelih putra kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102). Begitulah biasanya manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.
Jama’ah Shalat Idul Adha RahimakumuLlah.
Andaikan Ibrahim manusia yang dha’if, tentu akan sulit untuk menentukan pilihan. Salah satu diantara dua yang memiliki keterikatan besar dalam hidupnya; Allah atau Isma’il. Berdasarkan rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan lebih memilih Ismail dengan menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Allah yang siap memenuhi segala perintahNya, dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya kepada Allah memudar karena lebih mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma’il yang akhirnya menjadi syariat ibadah qurban bagi umat nabi Muhammad saw.
Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Isma’il kita? Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada Isma’il itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan kepada Isma’il yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya:
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah: 24)
Karena itu, dengan melihat keteladanan berqurban yang telah ditunjukkan oleh seorang Ibrahim, apapun Isma’il kita, apapun yang kita cintai, qurbankanlah manakala Allah menghendaki. Janganlah kecintaan terhadap isma’il-isma’il itu membuat kita lupa kepada Allah. Tentu, negeri ini sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim yang siap berbuat untuk kemaslahatan orang banyak meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.

Hadirin Jama’ah Shalat Idul Adha yang berbahagia.
Keta’atan yang tidak kalah teguhnya dalam menjalankan perintah Allah adalah keta’atan Isma’il untuk memenuhi tugas bapaknya. Pertanyaan besarnya adalah: kenapa Isma’il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya?. Bagaimanakan Isma’il memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?. Nabi Ibrahim senantiasa berdoa:



“Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shalih (Ash-Shaffat: 100). Maka Allah mengkabukan doanya: “Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim bahwa kelak dia akan mendapatkan ghulamun halim”. (Ash-Shaffat: 101). Inilah rahasia kepatuhan Isma’il yang tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan. Sosok ghulamun halim dalam arti seorang yang santun, yang memiliki kemampuan untuk mensinergikan antara rasio dengan akal budi tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses pembinaan yang panjang. Sehingga dengan tegar Isma’il berkata kepada ayahandanya dengan satu kalimat yang indah: :

“Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah, niscaya ayah akan mendapatiku seorang yang tabah hati, insya Allah”. (Ash-Shaffat: 102)
Orang tua mana yang tak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan menjalankan perintah Allah yang dibebankan kepada pundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak terharu melihat sosok anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya. Disinilah peri pentingnya pendidikan keagamaan bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil lagi, jangan menunggu ketika mereka remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladanan Ibrahim bisa dibaca dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berpredikat ‘ghulamun halim’.
Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLlahil Hamd
Setelah mencermati dua pelajaran kehidupan keberagamaan yang sangat berharga di atas, Prof. Dr. Mushthafa Siba’i pernah mengajukan pertanyaan menarik yang menggugah hati: “Akankah seorang muslim di hari raya ini menjadi sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia akan menjadi pribadi yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya, lalu mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan dirinya tersebut?
Memang secara fithrah, manusia cenderung bersikap egois dan mementingkan diri sendiri. Ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya. Namun demikian, disamping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasama tersebut ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia.

Allahu akkbar 3 Walillahilhamdu

Akhirnya, semoga apa yang diteladankan Nabiullah Ibrahim kepada kita dapat kita terapkan dalam kehidupan kita dan kita berharap mudah-mudahan menjadi muslim yang Istiqomah dalam Aqidah (keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT) dan dapat mengambil hikmah dalam hidup dan kehidupan kita sehingga kita menjadi muslim yang paripurna. Dan bagi saudara saudari kita yang telah dan sedang menunaikan ibadah haji menjadi haji yang mabrur yang dapat merubah hidup dan kehidupannya serta kehidupan masyarakatnya kejalan Islam yang baik.

UNTUK APA KITA PUASA

Kita telah memasuki bulan Ramdhan untuk melaksanakan ibadah puasa. puasa adalah hari-hari yang mengasikan bagi orang-orang yang mencari kesejatian hidup, saat-saat yang sangat menggiurkan bagi setiap manusia yang sadar melakukan peperangan terhadap dunia, nafsu, milik, kekuasaan dan kesombongan.

Ada beberapa teman saya saat diskusi santai dalam pertemuan rutin silaturrahmi bertanya “untuk apa kita berpuasa”? itu hanya menyiksa diri, pertanyaan itu sederhana tetapi merupakan pertanyaan aksiologis yang tidak bisa dijawab sederhana wajib – haram atau halal dan haram, jawaban saya pada saat itu adalah bahwa kita berpuasa agar kita menjadi khairu ummah (umat yang terbaik) ketika kita telusuri dalam kitab-kitab tafsir, syarah hadist, fiqh dan utamanya yang bernuansa tasawuf , puasa dalam keragaman bentuk dan cara, ternyata mempunyai tujuan yang sama “membangun kualitas diri (ketaqwaan) dengan pola pengendalian hawa nafsu.

Terkait dengan puasa sebagai upaya pengendalian hawa nafsu, ibnu katsir dalam kitab tafsirnya – mengatakan, sejak Nabi Nuh as hingga Nabi Isa as puasa diperintahkan untuk dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan Nabi Adam as diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. Begitu juga Nabi Musa dengan kaumnya juga berpuasa empat puluh hari, dalam Qs Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud as pun melaksanakan dengan cara sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad Saw sendiri – sebelum diangkat menjadi rasul – telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulannya dan turut mengamalkan puasa asyuro yang jatuh pada tanggal 10 bulan muharram bersama masyarakat quraisy lainnya. Begitupula binatang dan tumbuh-tumbuhan (juga) dinyatakan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telurnya, ayam harus berpuasa, demikian pula ular baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata dibumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tidak akan bias menjadi kupu-kupu dan menyerbuki bunga. Jadi berpuasa merupakan sunnah thabi’iyah (tradisi alami) sebagai langkah untuk tetap survive atau dapat mempertahankan hidup.

Kini pertanyaan lanjutannya. Mengapa manusia enggan melakukannya? Terlebih lagi perintah puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memiliki makna tersendiri. Karena ternyata puasa bagi setiap muslim bukan saja bermakna menahan diri dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan mereflesikan diri untuk turut serta hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk peka terhadap lingkungan.

Rahasia puasa, kita simak dalam kajian tafsir al-qur’an, ternyata ada pada kalimat singkat pada Qs Al Baqarah 183 pada ayat tersebut Allah mengakhiri dengan kalimat “La’allakum Tattaqquun” yang esensinya adalah “harapan” sekaligus “kepastian” perolehan kemampuan setiap pelakunya untuk memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap “Perut Besar” sebagai agama. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk prilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang di dunia dan kelak diakherat.

Dalam hal ibadah puasa, Islam memandang sama derajat manusia. Mereka yang memiliki sejumlah besar dolar dan mereka yang memiliki sedikit uang recehan rupiah, atau bahkan yang tidak memiliki uang sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama, antara lain “lapar dan Dahaga”. Jika (ibadah) sholat dicita-citakan dapat menghapus citra arogansi (Kecongkakan) individual manusia dan oleh karenanya di wajibkan bagi setiap insane muslim; ibadah haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia dan diwajibkan bagi yang mampu; maka ibadah puasa diasumsikan sebagai kefakiran total setiap insane beriman yang bertujuan untuk mengetuk sensitivitas (kepekaan) manusia dengan metode amaliyah praktis dan memberitahukan kepada pelakunya bahwa kehidupan yang benar itu berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan ini memcapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki rasa atau turut merasakan bersama “berempati” bukan sebaliknya.

Puasa dapat difahami memiliki multifungsi. Dan ketika direnungkan setidaknya ada tiga fungsi utama ibadah puasa yang masing-masing berkaitan : (1) tahdzib (mengarahkan) (2) Ta’dib (Membentuk karakter) (3) tadrib (melatih) Puasa merupakan sarana untuk mengarahkan, membentuk karakter, serta medium latihan untuk mendidik setiap orang “menjadi manusia paripurna” yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa yaitu “Taqwa” dalam pengertian fungsionalnya adalah melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya dalam dua dimensi horizontal dan vertical. Taqwa merupakan wujud kesalehan individual dan sosial “ Khoirun Naasi Anfa’uhum Linnass”

Dinyatakan oleh para psikolog, bahwa ada sejenis kaidah Bahwa ketika cinta kepada diri sendiri menggelembung menjadi cinta kepada yang ada diluar dirinya karena Allah, maka rasa sakit yang diderita orang lainpun akan terasa sakit pada dirinya. Diketika orang berpuasa bias merasakan rasa lapar dan dahaga yang dialaminya, maka diapun dapat merasakan betapa lapar dan dahaga orang yang tidak memiliki makanan dan minuman pelepas lapar dan dahaga yang terus diderita kaum fakir, maka puasa sekali lagi mereplesikan kepekaan kepada sesame dan lingkungannya nabi Mengatakan “ Idza Thabahta Maraqotan Faaktir ma’aha wa ta’ahad jirronaka” maka bila dalam kehidupan ini tercipta cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “Al Mubasyir” pembawa berita gembira dan al Muyassir pemberi kemudahan. Sebaliknya bila justru “kebencian” yang tercipta karena kita lupa dengan puasa maka hubungan kemanusiaan antar kita menjadi sangat “anergis”, antar manusia dan komunitas akan tercipta konflik berkepanjangan , setiap manusia bahkan akan bisa menjadi “srigala” bagi yang lainnya (Nauzubillah)

Selamat menunaikan ibadah puasa untuk menjadi yang pertama dan yang utama dalam berlomba untuk bersinergi, menjadi yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain sehingga bias menjadi khaoiru ummah dan menjadi Maslahat dunia dan akherat.

Rabu, 09 November 2011

Ragam Aktifitas MADRASAH DAAR EL MAFAIZ






Makan Bersama sebagai wujud kebersamaan... Alhamdulillah walaupun tempat yang sederhana tidak menyurutkan kami untuk terus mewujudkan ukhuwah Islamiyah

Selasa, 08 November 2011